BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan
manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang
hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Dengan demikian
ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia.
Namun terkadang ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu
merupakan gejala campuran, sehinga para ahli psiklogi menambahnya hingga
menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi, yaitu pikiran,
kehendak dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti intelegensi, kelelahan ataupun sugesti.
1.
Religiositas
berkembang sejak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan
keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar diri manusia.
2.
Dalam proses
perkembangan tersebut akan terbentuk macam, sifat, serta kualitas religiositas
yang akan terekspresikan pada perilaku kehidupam sehari-hari. Proses
perkembangan religiositas melewati tiga fase utama, yakni fase anak, remaja dan
dewasa. Masing-masing fase perkembangan memiliki kekhasan dalam sifat serta
perannya terhadap keseluruhan perkembangan religiositas.
Dalam makalah ini akan membahas tentang bagaimana
religiusitas pada tahap anak-anak hingga remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Agama
Dari sudut padang manusia, pendidikan ialah proses
sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan
dalam kehidupan. Emile Durhaim dalam karyanya education and sociology
(1956) berpendapat
bahwa pendidikan merupakan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu
mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.[3] Banyak para
filsafat pendidikan mengartikan “pendidikan” antara lain:
1.
Driyar Karya
Mengatakan
bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.
2.
Crow and crow
Menyebut
pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi
individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya
serta kelembagaan sosial dan generasi ke generasi.
3.
Ki Hajar Dewantara
Dalam
kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930, menyebutkan pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak
boleh pisah-pisahkan bagian-bagian itu agar dapat memajukan kesempurnaan hidup,
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
4.
John Dewey
Pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
5.
Herman H. Horne
Pendidikan
dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia sebagai timbal balik
dengan alam sekitar dengan sesama manusia, dan dengan tabiat dan kosmos.
Ada beberapa pendapat mengenai makna “Agama” antara lain:
1. Prof KHM. Taib Thahir
Abdul Mu’in,
Agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa
seseorang yang mempunyai akal, memegang peratutan Tuhan dengan kehendak
sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan diakhirat.
2. Emile Durkheim
Mengartikan agama sebagai suatu kumpulan keyakinan
warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniruan terhadap
modus-modus, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan
praktik-praktik yang secara sosial telah mantap selama ke generasi-generasi.
3. J.G. Frazer
Berpendapat bahwa agama adalah suatau ketundukan atau
penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang
dipercayai mengatur dan mengendalikan alam dan kehidupan umat manusia. Menurut
dia agama itu terdiri dua element yakni, bersifat teorstis dan yang praktis.
Contoh yang bersifat teoristis berupa kepercayaan kepada kekuatan yang lebih
tinggi dari pada manusia sedangkan yang bersifat praktis ialah usaha manusia
untuk tunduk kepada kekuatan-kekuatan tersebut serta usaha mengembirakannya.
B. Perkembangan Rasa Agama
Usia Anak
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama
anak-anak melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development Of
Religion On Children, ia
mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga
tingktan, yaitu;
Tingkatan ini dimuali pada anak yang berusia 3-6 tahun.
Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi
dan emosi. Pada tingkatan anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan
tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa kini masih banyak
dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dapat menggapai agama pun anak masih
mengggunakan konsep fantastik yang diliputi oleh dongeng-dongeng.
Tingkat ini sejak anak masuk Sekolah Dasar (SD) hingga ke
usia adolensen. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan anak dapat didasarkan atas dorongan emosional, hingga
mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka
pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam ligkungan mereka. Segala bentuk tindakan
(amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
Pada tingkat ini anak mempunyai kepekaan emosi yang
paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka, konsep keagamaan yang
individualis ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu;
1.
Konsep ke-Tuhanan
yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
Hal terserbut disebabkan oleh pengaruh luar.
2.
Konsep ke-Tuhanan
yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal
(peroranngan).
3.
Konsep ke-Tuhanan
yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka
dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh
faktor interen, yaitu perkembangan usia dan faktor eksteren berupa pengaruh
luar yang dialaminya.
4.
Religiositas anak
adalah hasil dari suatu proses perkembangan yang berkesinambungan dari lahir
sampai menjelang remaja. Dalam proses tersebut berbagai faktor, interen,
eksteren ikut berperan. Empat diantarannya yang akan dipaparkan dalam makalah
ini, yaitu perkembangan kognisi, peran hubungan orang tua dengan anak, peran Conscience, Guilt, Shame, serta Interaksi sosial. 4.Peran
kognisi dalam perkembangan religiositas anak
Konsep tentang nila-nilai
keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan religiositas masuk ke dalam
diri anak melalui kemampuan kognisi. Kognisi difahami sebagai kemampuan
mengamati dan menyerap pengetahuan dan pengalaman dari luar diri individu.
Perkembangan kognisi melewati beberapa fase yang masing-masing memiliki ciri
yang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman yang masuk pada diri individu akan
hanya terserap sesuai dengan tingkat kemampuan kognisinya. Demikian juga
pengetahuan dan pengalaman keagamanannya.
Pada usia anak menurut
Piaget perkembangan kognisi mengalami empat dari lima fase perkembangan
berikiut ini yaitu:
1.
Period of sensorimotor adaptation, birth- 2 tahun
2.
Development of simbiolic and preconceptual thought, 2-4
tahun
3.
Period of intuitive thougth, 4-7 tahun
4.
Period of concreate operations,
7-12 tahun
5.
Period of formal operation, 12- thought adulescence.
A. Peran
hubungan orang tua dengan anak dalam perkembangan religiositas anak
Hubungan orang tua dengan
anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang
akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak.[10] Melalui hubungan
dengan orang tua anak menyerap konsep-konsep keimanan (belief & faith), ibadah (ritual), maupun mu’amalah (ethic & moral).
Ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiositas anak
melalui proses hubungan orang tua dan anak, yaitu cara orang tua dalam
berhubungan dengan anaknya, serta kualitas dari religiositas orang tua.
B. Paran Conscience, Guilt dan Shame dalam perkembangan religiositas anak
Conscience, Guilt dan Shame adalah tiga keadaan kejiwaan yang berkembang secara
berurutan.Conscience adalah kemampuan yang muncul dari jiwa yang terdalam
untuk mengerti tentang be nar dan salah, baik dan buruk. Dalam istilah lain
dapat disamakan dengan istilah inner light, superhero, atauinternalized policeman, yang berperan untuk mengontrol perilaku dari dalam diri. Guilt adalah perasaan bersalah yang muncul bila dirinya tidak
berperilaku sesuai dengan kata hatinya, rasa bersalah juga dapat disebut
evaluasi diri secara negative yang muncul ketika seseorang memahami bahwa
perilakunya tidak sesuai dengan standard nilai yang dia rasa harus ditaati.
Beriringan dengan itu kemudian muncul Shame, yaitu reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap
perkiraan penilaian dari orang lain pada dirinya.
C. Peran
interaksi sosial dalam perkembangan religiositas anak
Interaksi sosial adalah
kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, yaitu
dengan kelompok kawan sepermainan dan kawan sekolah. Interaksi sosial mempunyai
peran penting dalam perkembangan religiositas anak melalui dua hal sebagai
berikut: pertama, malalui interaksi sosial anak akan mengetahuai apakah
perilakunya yang telah terbentuk berdasarkan standar nilai religiositas dalam
keluarga dapat diterima atau ditolak oleh lingkungannya. Kedua, interaksi
sosial akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai
dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya.
C. Perkembangan Rasa Agama
Usia Remaja
Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka
masa remaja menduduki masa Progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa
remaja mencakup masa juvenitilas (adolescantium), pubertas, dan nubilitas.[12]
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka
agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya
penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak
pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa
faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembnagan itu antara lain menurut
W. Starbuck adalah:
a)
Pertumbuhan pikiran
dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja
dari masa kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah
tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
b)
Perkembangan
perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati
berkehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan
cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula.
Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran
agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa
kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasan super, remaja
lebih terperosok ke arah tindakan seksual yang negative.
c)
Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya
pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mareka timbul konflik antara
pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu.
Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja
lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d)
Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa
berdosa dan usaha untuk mencari proteks. Tipe moral yang juga terlihat pada
remaja juga mencakupi:
1.
Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2.
Adaptive,
mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.
Submissive,
merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
1.
Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
2.
Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan masyarakat.
e)
Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh
dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaaan masa kecil dan
lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
Howard Bell dan Ross, berdasarkan penelitiannya taerhadap
13.000 remaja di Marlyand mengungkapkan sebagai berikut:
1.
Remaja yang taat beribadah
ke gereja secara terartur 45%
2.
Remaja yang tidak pernah
kegereja 35%
3.
Minat terhadap: ekonomi,
keuangan, materi dan sukses pribadi 73%
4.
Minat terhadap masalah
ideal, keagamaan dan sosial 21%.
f) Ibadah
1.) Pandangan remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan
masalah doa yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan:
a.) 148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka
tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan, sedangkan sisanya 128 mempunyai
pengalaman keagamaan, yang 60 diantaranya secara alami (tidak melalui ajaran
resmi).
b.) 31% di antara yang punya pengalaman keagamaan melalui
proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang
menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.
2.) Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah
di ungkapkan sebagai berikut:
a.) 42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali.
b.) 33% mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin
Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.
c.) 27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong
mereka meredakan kesusahan yang mereka derita.
d.) 18% mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka
menjadi senang sesudah menunaikannya.
e.) 11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung
jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
f.) 4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan
yang mengandung arti yang penting.
Jadi, hanya 17% mengatakan bahwa sembahayang berrmanfaat
untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa
sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Religiositas pada tahap anak dan remaja sangat berbeda,
proses perkembnagan religiositas pada tahap anak meliputi beberapa faktor yaitu The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng), The Realistikc Stage (tingkat kenyataan) dan The Individual Stage (tngkat individu). Sedangkan pada tahap remaja juga diliputi beberapa
faktor, yang mana faktor ditahap anak berbeda pada tahap remaja, faktor-faktor
yang meliputi perkembangan religiositas pada tahap remaja yaitu; Pertumbuhan
pikiran dan mental, Perkembangan perasaan Pertimbangan sosial, Perkembangan
moral, Sikap dan minat serta Ibadah.
Dalam keseluruhan perkembangan religiositas, perkembangan
pada usia anak mempunyai peran yang sangat penting karena dalam perkembangan
tersebut keseluruhan dasar-dasar religiositas mulai terbentuk. Akan tetapi
perhatian dan kesangguan pihak orang dewasa dalam memahami dan memecahkan
permasalahan yang timbul berkaitan dengan perkembangan religiositas usia anak
dirasa kurang dibandingkan dengan perhatian dan kesanggupannya terhadap
perkembangan religiositas usia remaja dan dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar